Analisis Hukum Hibah Tanah untuk Pesantren
Pantaskah Alexander Pranoto Menarik Kembali Tanah yang Sudah Ia Hibahkan ke Edy Nasution?

Alexander Pranoto dan PH. Dok foto( Red)
Legal Opinion
Oleh Rival Achmad Labbaika Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI)
SIGAPNEWS. CO ID | Jakarta - Kasus hibah tanah antara Alexander Pranoto dan mantan Wakil Gubernur Riau, Edy Nasution, menjadi sorotan karena menyangkut dua isu penting: pertama, soal sah tidaknya penarikan kembali hibah tanah yang sejak awal diberikan untuk pembangunan pesantren; kedua, soal etika publik dan potensi gratifikasi dalam pemberian hibah kepada pejabat negara.(9/9)
Alexander diketahui pernah menghibahkan tanah seluas 3 hektar kepada Edy Nasution dengan maksud mulia, yakni untuk pembangunan pesantren. Namun hingga waktu berjalan, tujuan tersebut tidak kunjung terwujud. Atas dasar itu, Alexander menuntut tanahnya dikembalikan. Pertanyaan hukum pun muncul: *apakah langkah Alexander sah secara hukum perdata, syariah, dan hukum publik?*
*Aspek Hukum Perdata*
1. Definisi Hibah
Pasal 1666 KUH Perdata mendefinisikan hibah sebagai:
“Suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda kepada si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Secara umum, hibah bersifat final dan tidak bisa dicabut kembali.
2. Pengecualian Penarikan Hibah
Namun, Pasal 1688 KUH Perdata menyebutkan tiga kondisi hibah dapat dibatalkan:
1. Jika penerima hibah berusaha membunuh penghibah.
2. Jika penerima hibah melakukan penghinaan atau kejahatan berat kepada penghibah.
3. Jika penerima hibah tidak memenuhi syarat hibah yang ditentukan penghibah.
Relevansi: hibah Alexander adalah hibah bersyarat (untuk pembangunan pesantren). Karena syarat tidak dipenuhi, hibah dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 1688 butir ke-3.
3. Perjanjian Bersyarat
KUH Perdata Pasal 1320 menegaskan syarat sah perjanjian: sepakat, cakap, objek tertentu, dan sebab halal. Pasal 1338 menambahkan bahwa setiap perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.
Artinya, meskipun hibah dilakukan dengan akta hibah, namun jika ada kesepakatan bahwa tanah digunakan khusus untuk pesantren, maka kesepakatan itu *mengikat secara hukum.* Pelanggaran atasnya dapat dianggap *wanprestasi* (Pasal 1243 KUH Perdata).
*Aspek Hukum Agraria*
Dalam perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah:
1. *Pasal 19 UUPA jo. Pasal 3 PP 24/1997:* Tanah wajib didaftarkan untuk kepastian hukum.
2. *Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997:*
Sertifikat tanah adalah alat bukti hak yang kuat, tetapi *dapat dibatalkan* jika dasar peralihannya cacat hukum.
3. *Pasal 26 UUPA:* peralihan hak atas tanah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan.
Jika hibah didasarkan pada syarat tertentu dan syarat itu tidak dipenuhi, maka dasar peralihan dapat dianggap cacat. Dengan demikian, *sertifikat tanah hasil hibah pun bisa dibatalkan melalui putusan pengadilan.*
*Aspek Hukum Islam*
1. Kaidah Umum
Hadist Nabi Muhammad SAW:
“Orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang menjilat muntahnya kembali.” (HR. Bukhari-Muslim).
KHI Pasal 212 menegaskan: “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anak.”
Prinsip umum: hibah bersifat final, tidak dapat dicabut.
2. Pandangan Fiqh Mazhab
• Mazhab Syafi’i: hibah mutlak tidak boleh ditarik kembali, kecuali orang tua kepada anak.
• Mazhab Hanafi: hibah boleh ditarik kembali sebelum ada qabd (penyerahan fisik). Setelah ada penyerahan, tidak boleh, kecuali jika syarat dilanggar.
• Mazhab Maliki: hibah bisa gugur jika penerima melanggar syarat hibah atau tujuan akad tidak terpenuhi.
• Mazhab Hanbali: membolehkan penarikan hibah jika ada syarat yang jelas dan penerima hibah mengingkarinya.
3. Kaidah Fiqh
• Al-muslimun ‘ala syuruthihim → Kaum Muslimin terikat pada syarat-syarat yang mereka sepakati.
• Al-‘ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma‘ani → yang dinilai dari akad adalah maksud dan tujuan, bukan sekadar lafaz.
Artinya: karena hibah Alexander jelas ditujukan untuk *pesantren,* maka jika pesantren tidak dibangun, akad hibah batal. Dalam perspektif syariah, *Alexander berhak menuntut kembali tanahnya.*
*Aspek Hukum Publik & Gratifikasi*
Hibah kepada seorang pejabat publik perlu ditinjau dari aspek UU Tipikor:
• *Pasal 12B UU 31/1999 jo. UU 20/2001:* Setiap gratifikasi kepada penyelenggara negara dianggap suap jika berhubungan dengan jabatannya, kecuali dilaporkan ke KPK dalam 30 hari kerja.
• *PP 94/2021 tentang Disiplin PNS:* ASN/pejabat dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan.
Jika hibah diberikan ketika Edy Nasution masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Riau, maka ia wajib melaporkannya ke KPK. Jika tidak, hibah dapat dikategorikan *gratifikasi ilegal.*
*Apakah Alexander Terlibat?*
• *Penerima hibah (pejabat)* adalah pihak utama yang dapat dikenakan pidana jika tidak melaporkan.
• *Pemberi hibah (Alexander)* hanya dapat dijerat hukum jika terbukti hibah diberikan dengan maksud suap atau imbalan atas jabatan. Jika pemberian tulus untuk pesantren tanpa pamrih politik, Alexander *tidak otomatis dianggap pelaku gratifikasi.*
Namun, secara etika, pemberian hibah bernilai besar kepada pejabat tetap menimbulkan *konflik kepentingan.*
*Etika & Moral Publik*
Hibah ini sejak awal ditujukan untuk pembangunan pesantren, sebuah niat mulia. Jika penerima hibah mengingkarinya, maka secara moral itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dalam hukum Islam, menahan harta orang lain tanpa hak disebut ghashab, yang hukumnya haram.
Dari sisi etika pejabat publik, menerima hibah besar tanpa transparansi jelas mencederai prinsip integritas dan akuntabilitas.
Kesimpulan
1. *Dalam Ketentuan Hukum Perdata* Alexander berhak menuntut kembali tanah, karena syarat hibah tidak dipenuhi (Pasal 1688 KUH Perdata).
2. *Dalam Ketentuan Hukum Agraria* sertifikat tanah hibah dapat dibatalkan bila dasar peralihannya cacat (Pasal 32 PP 24/1997).
3. *Dalam Syariat Hukum Islam* walau hibah umumnya tidak bisa ditarik, *namun hibah bersyarat batal jika syaratnya dilanggar.* Pandangan Maliki dan Hanafi menguatkan posisi Alexander.
4. *Hukum Publik (Tipikor)* penerimaan hibah oleh pejabat publik tanpa laporan ke KPK berpotensi masuk kategori gratifikasi ilegal.
5. *Etika & Moral* pelanggaran terhadap tujuan hibah berarti pengkhianatan terhadap amanah, dan pejabat publik mestinya menjaga integritas dengan tidak menerima hibah pribadi bernilai besar.
???? Dengan demikian, *Alexander Pranoto sah, pantas, dan layak secara hukum maupun moral untuk menuntut kembali tanah hibah tersebut.*
Lebih jauh, kasus ini juga membuka ruang evaluasi terhadap praktik pejabat publik yang menerima hibah pribadi tanpa transparansi, karena berpotensi mencederai hukum dan etika pemerintahan.
Editor :Erick Donald Simanjuntak
Source : Rival Achmad Labbaika Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI